Beranda | Artikel
Safinatun Naja: Rukun Shalat, Cara Niat, Membaca Al-Fatihah, dan Rinciannya
Rabu, 8 Desember 2021

Kali ini pembahasan penting mengenai rukun shalat, takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah, cara berniat, dan rincian pentingnya dari pelajaran Safinatun Naja.

 

[KITAB SHALAT]

[Rukun Shalat]

أَرْكَانُ الصَّلاَةِ سَبْعَةَ عَشَرَ:

الأَوَّلُ: النِّيَّةُ.

الثَّانِيْ: تَكْبِيْرةُ الإِحْرَامِ.

الثَّالِثُ: الْقِيَامُ عَلَى القَادِرِ فِيْ الْفَرْضِ.

الرَّابعُ: قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ.

الْخَامِسُ: الرُّكُوْعُ.

السَّادِسُ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

السَّابعُ: الاعْتِدَالُ.

الثَّامِنُ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

التَّاسِعُ: السُّجُوْدُ مَرَّتَيْنِ.

الْعَاشِرُ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

الْحَادِيْ عَشَرَ: الْجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ.

الثَّانِيْ عَشَرَ: الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

الثَّالِثَ عَشَرَ: التَّشَهُّدُ الأَخِيْرُ.

الرَّابِعَ عَشَرَ: الْقُعُوْدُ فِيْهِ.

الْخَامِسَ عَشَرَ: الصَّلاَةُ عَلَىَ النَّبِيِّ فِيْهِ.

السَّادِسَ عَشَرَ: السَّلاَمُ.

السَّاِبَعَ عَشَرَ: التَّرْتِيْبُ.

Fasal: Rukun shalat ada 17, yaitu [1] niat, [2] takbiratul ihram, [3] berdiri bagi yang mampu dalam shalat wajib, [4] membaca surah Al-Fatihah, [5] rukuk, [6] thumakninah ketika rukuk, [7] iktidal, [8] thumakninah saat iktidal, [9] sujud dua kali, [10] thumakninah saat sujud, [11] duduk antara dua sujud, [12] thumakninah saat duduk antara dua sujud, [13] tasyahhud akhir, [14] duduk saat tasyahud akhir, [15] shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahhud akhir, [16] salam, dan [17] tertib.

 

Catatan:

Rukun shalat ada yang menyebut 17, ada yang menyebut 13. Kalau menganggap 17 rukun, berarti thumakninah dihitung tersendiri.

Pertama: Niat

Letak niat di sini adalah di hati. Sehingga niat tidak cukup diucapkan, sedangkan hati dalam keadaan lalai. Apabila niat di hati itu shalat fardhu Zhuhur, sedangkan niatan di lisan adalah shalat ‘Ashar, maka yang dianggap adalah yang diniatkan di hatinya.

Niat memiliki tingkatan yang nantinya akan dibahas.

Kedua: Takbiratul ihram

Takbiratul ihram disebut demikian karena ucapan takbir tersebut menjadi sebab diharamkannya sesuatu yang sebelumnya halal, seperti makan, minum, dan berbicara.

Maksud takbiratul ihram adalah mengucapkan pada awal shalat kalimat takbir “Allahu Akbar”.

Orang yang tidak mampu mengucapkan Allahu Akbar dapat membacanya dengan terjemahan, tidak membaca dzikir yang lain yang mampu diucapkannya. Ia wajib mempelajarinya walaupun harus melakukan safar.

Syarat mengucapkan takbiratul ihram nantinya akan dibahas.

Ketiga: Berdiri bagi yang mampu dalam shalat wajib

Yang dimaksud shalat wajib adalah shalat lima waktu, shalat yang dinadzarkan, shalat fardhu kifayah. Yang termasuk lagi adalah shalat dalam bentuk fardhu, seperti shalat yang diulangi dan shalat anak yang belum baligh.

Orang yang shalat diwajibkan menegakkan tulang punggungnya. Bila tidak mampu, berdirilah semampunya.

Rincian ketika tidak mampu berdiri:

  • Apabila tidak mampu berdiri, ia wajib duduk bagaimana pun cara yang dikehendakinya.
  • Apabila tidak mampu duduk, ia wajib berbaring di sisi tubuhnya, dan menghadap kiblat dengan bagian depan tubuhnya, dan sunnah dengan wajahnya.
  • Apabila tidak mampu berbaring, ia wajib telentang dan diangkat kepalanya sedikit agar dapat menghadap kiblat. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dengan kepalanya, ia wajib menghadap kiblat dengan telapak kakinya (al-akhmash, bagian lubang di bagian dalam telapak kaki yang tidak menyentuh langsung tanah ketika berjalan). Rukuk dan sujud dilakukan dengan menundukkan kepalanya, dan sujudnya lebih rendah dari rukuknya saat menundukkan kepala.
  • Apabila tidak mampu melakukan semua itu, maka seluruh perbuatan shalat dilakukan dengan hatinya, maka yang wajib tetap harus dilakukan dan yang sunnah dianjurkan. Begitu pula ucapan yang ada dalam shalat harus dibaca jika lisannya mampu digerakkan, yaitu menganggap dirinya bertakbir sambil berdiri, rukuk, dan begitu selanjutnya. Shalat yang semacam ini tidak wajib diulangi. Shalat tidak dapat lepas kewajibannya selama akal masih ada.

Berdiri menjadi tidak wajib bila orang tersebut secara kenyataan dianggap tidak mampu.

Berdiri dalam shalat sunnah tidaklah wajib. Sehingga seseorang diperbolehkan—walaupun ia mampu berdiri–, ia melakukan shalat sunnah sambil duduk dan berbaring, tetapi tidak boleh telentang bagi yang mampu berdiri. Orang yang shalatnya berbaring, sedangkan ia mampu berdiri haruslah kembali duduk untuk melakukan rukuk dan sujud.

Keempat: Membaca surah Al-Fatihah

Membaca surah Al-Fatihah itu wajib ketika berdiri atau pengganti berdiri, berlaku pada setiap rakaat, pada shalat wajib maupun sunnah, baik shalat sendiri, sebagai imam, makmum, selama tidak sebagai makmum masbuq*.

*Kaidah: Mendapatkan rukuk berarti mendapatkan satu rakaat, walau tidak baca Al-Fatihah.

Apabila tidak mampu membaca Al-Fatihah, maka membaca tujuh ayat lain dari Al-Qur’an, dan disunnahkan ayat-ayat yang berurutan, dan disyaratkan huruf-hurufnya sebanyak huruf surah Al-Fatihah, walaupun hanya perkiraan.

Apabila tidak mampu membaca sebagian ayat Al-Qur’an, maka membaca tujuh macam dzikir seperti SUBHANALLAH, WALHAMDULILLAH, WA LAA ILAHA ILLALLAH, WALLAHU AKBAR, WA LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH, MAA SYA-ALLAHU KAANA WA MAA LAM YASYAA’ LAM YAKUN. Namun, huruf-hurufnya tidak menyamai surah Al-Fatihah, maka hendaklah menambahkannya hingga mencapai sebanyak huruf Al-Fatihah, walaupun dengan mengulanginya. Selain dzikir bisa pula dengan doa.

Apabila tidak mampu membaca semua itu, ia wajib diam dengan jeda seperti membaca Al-Fatihah, walaupun lamanya hanya diperkirakan.

Syarat-syarat membaca Al-Fatihah nantinya akan dijelaskan.

Baca juga: Solusi bagi yang Tidak Bisa Membaca Al-Fatihah

Kelima: Rukuk

Rukuk secara bahasa berarti menunduk. Secara syariat, rukuk adalah menundukkan badan tanpa inkhinas, hingga kedua telapak tangan dapat meraih kedua lututnya secara yakin.

Inkhinas adalah membungkukkan pinggul, mengangkat kepalanya, dan mengedepankan dadanya.Apabila seseorang melakukan semacam itu secara sengaja dan mengetahui hukumnya, shalatnya batal. Jika tidak mengetahui hukumnya atau lupa, shalat tidak batal. Ia wajib kembali menuju berdiri dan melakukan rukuk yang sempurna karena tidak cukup gerakan menuju rukuk yang tujuannya inkhinas.

Syarat rukuk adalah tidak bergerak menuju rukuk untuk tujuan yang lain.

Keenam: Thumakninah ketika rukuk

Yang dimaksud adalah seluruh anggota tubuh berada pada tempatnya, sehingga terpisah antara gerakannya menuju rukuk dengan gerakan bangkit dari rukuk.

Ketujuh: Iktidal

Iktidal secara bahasa berarti istiqamah. Secara syari, iktidal adalah kembalinya orang yang rukuk menuju gerakan sebelum rukuknya.

Ketika bangkit dari rukuk tidaklah dimaksudkan selain iktidal.

Iktidal tidak diperpanjang melebihi dzikir yang disyariatkan sehingga tidak sama dengan lama membaca surah Al-Fatihah.

Jika ada yang membuat bacaan iktidal lama secara sengaja dan mengetahui, shalatnya batal. Karena iktidal termasuk rukun qashir (ringkas).

Kedelapan: Thumakninah ketika iktidal

Yang dimaksud adalah terpisah antara gerakan bangkit dari rukuk dengan gerakan menuju sujud.

Kesembilan: Sujud dua kali

Sujud secara bahasa berarti condong. Sebagian ada yang berpendapat, sujud adalah merendahkan diri.

Secara syariat, sujud adalah terkenanya dahi orang yang shalat secara langsung pada tempat shalatnya, baik pada tanah atau lainnya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa sujud adalah meletakkan seluruh anggota tubuh yang tujuh.

Rukun yang dimaksud di sini adalah sujud dua kali dalam setiap rakaat.

Kesepuluh: Thumakninah ketika sujud

Yaitu terpisah antara gerakan setiap kali menuju sujud dengan gerakan bangkit dari sujud.

Kesebelas: Duduk antara dua sujud

Syarat-syaratnya adalah:

  1. Tidak ada maksud lain ketika bangkit dari sujud selain duduk
  2. Tidak memperpanjang bacaan dzikir yang disunnahkan, lamanya itu seperti tasyahud yang paling minimal, karena duduk ini termasuk rukun qashir (yang singkat).

Kedua belas: Thumakninah ketika duduk antara dua sujud

Yaitu terpisah antara gerakan bangkit dari sujud pertama dengan gerakan menuju sujud kedua.

Ketiga belas: Tasyahud akhir

Tasyahud ini asalnya nama dari dua kalimat syahadat.

Syarat-syaratnya:

  • Dibaca dengan bahasa Arab. Bila tidak mampu, boleh diterjemahkan sesuai riwayat yang ada saja.
  • Disunnahkan dibaca secara tertib (berurutan). Kecuali bila mengubah makna kala tidak tertib, shalatnya batal.

Jika tidak mampu membaca tasyahud, tidak wajib digantikan dengan yang lain.

Keempat belas: Duduk tasyahud akhir

Yang dimaksud adalah duduk saat membaca tasyahud akhir bagi yang mampu.

Kaidah dalam madzhab Syafii: setiap duduk dalam shalat adalah duduk iftirosy kecuali untuk duduk tasyahud akhir di mana tawarruk.

Kelima belas: Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Shalawat dibaca setelah tasyahud akhir. Kalau ada jeda antara tasyahud dan shalawat dengan dzikir atau jeda yang lama, hal itu tidaklah masalah.

Syaratnya sama dengan syarat membaca tasyahud.

Bacaan shalawat paling pendek adalah: ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD.

Keenam belas: Salam

Bacaan salam paling singkat adalah: ASSALAAMU ‘ALAIKUM.

Bacaan salam paling sempurna adalah: ASSALAMU ‘ALAIKUM WA ROHMATULLAH.

Sepuluh syarat mengucapkan salam:

  1. ‘Arrif, menggunakan makrifah dengan alif lam (as-salaam …), tidak sah jika menggunakan salaamun ‘alaikum.
  2. Khootib, menggunakan dhamir orang yang diajak bicara (as-salaamu ‘alaikum), tidak bisa dengan assalaamu ‘alaih.
  3. Shil, tidak memisahkan dua kata dengan pembicaraan yang lain.
  4. Wajma’, menggunakan dhamir jamak, berarti tidak mengucapkan as-salaamu ‘alaik, tetapi as-salaamu ‘alaikum.
  5. Waalin, harus muwalah, mengucapkan salam berkesinambungan. Bila diam lama secara mutlak atau pendek dengan niat memutuskan ucapan salam, maka tidaklah sah.
  6. Kun mustaqbilan, menghadap kiblat dengan dadanya.
  7. Laa taqshid bihil khobara, tidak bermaksud dengan salam tersebut memberikan suatu kabar saja. Yang diniatkan saat salam adalah tahallul, artinya boleh melakukan perkara di luar shalat setelah itu.
  8. Ijlis, yaitu salam diucapkan dalam keadaan duduk.
  9. Asmi’ bihi nafsan, yaitu memperdengarkan ucapan salam hingga dapat didengar oleh dirinya sendiri.
  10. Tidak menambah atau mengurangi ucapan yang dapat mengubah makna. Lalu diucapkan dengan bahasa Arab jika mampu. Jika tidak mampu, dapat diterjemahkan.

Ketujuh belas: Tartib (berurutan)

Bentuk tidak tartib (tidak berurutan):

  1. Mendahulukan rukun perbuatan atas rukun perbuatan yang lain atau atas rukun ucapan.

Contoh:

  • melakukan sujud sebelum rukuk,
  • melakukan rukuk sebelum membaca Al-Fatihah.

Hukum:

– Jika mengetahui dan sengaja, shalatnya batal.

–  Jika tidak mengetahui dan tidak sengaja, shalatnya tidak batal. Namun, wajib kembali ke gerakan yang didahulukan pada tempatnya selama belum melakukan gerakan yang sama pada rakaat berikutnya. Sehingga bila telah melakukan gerakan yang sama pada rakaat berikutnya, maka dianggap telah menggantikan gerakan tersebut dan shalatnya dilanjutkan ke rakaat selanjutnya.

  1. Mendahulukan rukun ucapan—selain salam—atas rukun perbuatan atau atas rukun ucapan yang lain.

Contoh: mendahulukan tasyahud dari sujud, mendahulukan shalawat pada nabi dari tasyahud.

Hukum: Bacaan yang dilakukan tidak dianggap, maka harus diulang pada tempatnya. Hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang tahu dan sengaja dengan lainnya.

  1. Mendahulukan salam bukan pada tempatnya.

Hukum: Shalatnya batal jika tahu dan sengaja. Bila tidak, maka tidak batal. Ucapan salam dibaca pada tempatnya, walaupun ada jeda yang panjang.

Catatan: Setiap keadaan di atas yang disebutkan–selain yang membatalkan shalat–, disunnahkan melakukan sujud sahwi. Kecuali pada gambaran yang terakhir karena hilangnya kesempatan melakukan sujud sahwi jika telah mengucapkan salam. Hal ini dikecualikan jika mendahulukan shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas tasyahud, maka tidak disunnahkan baginya sujud sahwi.

 

[Niat Shalat]

النِّيَّةُ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ:

1-إنْ كَانَتِ الصَّلاَةُ فَرْضَاً. وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ، وَالتَّعْيِيْنُ، وَالْفَرْضِيَّةُ.

و2- إِنْ كَانَتْ نَافِلَةً مُؤقَّتَةً كَرَاتِبَةٍ أَوْ ذَاتِ سَبَبٍ، وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ وَالتَّعْيِيْنُ.

وَ3- إِنْ كَانَتْ نَافِلَةً، وَجَبَ قَصْدُ الْفِعْلِ فَقَطْ.

الْفِعْلُ: أُصَلِّيْ. وَالتَّعْيِيْنُ: ظُهْرَاً، أَوْ عَصْرَاً. وَالْفَرْضِيَّةُ: فَرْضَاً.

Fasal: niat ada 3 tingkatan, yaitu [1] jika shalat fardhu maka wajib menyengaja berbuat dan ta’yin (menentukan jenis shalat) serta fardhiyah (menyatakan kefardhuan), [2] jika shalat sunnah muaqqot (yang ditentukan waktunya) seperti sunnah rawatib atau yang memiliki sebab maka wajib menyengaja berbuat dan ta’yin, dan [3] jika shalat sunnah mutlak (tidak terikat waktu) maka wajib menyengaja berbuat saja.

Yang dimaksud berbuat adalah ucapan ushalli (aku shalat), ta’yin adalah ucapan Zhuhur atau Ashar, dan fardhiyyah adalah fardhu.

Catatan:

Shalat ada tiga macam:

  1. Shalat fardhu
  2. Shalat sunnah muqayyad (terkait) dengan waktu atau sebab
  3. Shalat sunnah mutlak

Shalat fardhu itu mencakup:

  1. Shalat fardhu
  2. Shalat nadzar
  3. Shalat fardhu kifayah
  4. Shalat fardhu qadha
  5. Shalat fardhu i’adah (yang diulangi)

Dalam madzhab: disunnahkan untuk melafazhkan niat. Maksud lafazh niat, karena lisan itu membantu agar hati hadir saat melakukan perbuatan.

Wajib berniat untuk shalat fardhu dengan menyatakan tiga hal yaitu:

  1. Maksud perbuatan (qashdul fi’li)., yaitu shalat
  2. Penentuan shalatnya (ta’yin), seperti shalat Shubuh atau Zhuhur
  3. Niat fardhunya

Contoh niat shalat fardhu: USHOLLI FARDHOZH ZHUHRO atau USHOLLIZH ZHUHROL MAKTUUBAH.

Apabila shalat nadzar, contohnya: USHOLLIDH DHUHAA AL-MANDZUUROH.

Wajib berniat untuk shalat sunnah muaqqot (memiliki batasan waktu),–contohnya shalat rawatib, Idulfitri, Iduladha atau yang punya sebab seperti shalat istisqa’, shalat kusuf–dengan menyatakan dua hal yaitu:

  1. Maksud perbuatan (qashdul fi’li)., yaitu mau shalat
  2. Penentuan shalaatnya (ta’yin), seperti shalat sunnah qabliyah Zhuhur, bakdiyah Zhuhur, sunnah Idulfitri dan Iduladha. Tidak mesti menyebut niat sunnah, tetapi disunnahkan.

Contoh niat shalat sunnah muaqqot: USHOLLI QOBLIYATAZH ZHUHRI, USHOLLI ‘IIDAL FITHRI, USHOLLIL KUSUUFA.

Wajib berniat untuk shalat sunnah mutlak—yaitu shalat sunnah yang tidak memiliki batas waktu dan tidak punya sebab–, dengan menyatakan maksud perbuatan (qashdul fi’li). Contoh: USHOLLI.

Dimisalkan dalam shalat sunnah mutlak adalah shalat sunnah muqoyyad yang pengerjaannya dengan wujud shalat mutlak, bukan shalat yang bersifat khusus, contohnya:

  • Shalat tahiyatul masjid
  • Shalat sunnah wudhu
  • Shalat istikhoroh
  • Shalat sunnah thowaf
  • Shalat sunnah datang dari bepergian (al-qudum minas safar)
  • Shalat hajat
  • Shalat di suatu tempat yang belum ada seseorang yang beribadah kepada Allah di situ.

Apa yang dimaksud qashdul fi’li, takyin, dan fardhiyah? Syaikh Salim Al-Hadhrami mengatakan:

الْفِعْلُ: أُصَلِّيْ. وَالتَّعْيِيْنُ: ظُهْرَاً، أَوْ عَصْرَاً. وَالْفَرْضِيَّةُ: فَرْضَاً.

Yang dimaksud berbuat adalah ucapan ushalli (aku shalat), ta’yin adalah ucapan Zhuhur atau Ashar, dan fardhiyyah adalah fardhu.

 

[Syarat Takbiratul Ihram]

 

شُرُوْطُ تَكْبِيْرَةِ الإِحْرامِ سِتَّةَ عَشَرَ:

1- أَنْ تَقَعَ حَالَةَ الْقِيَامِ فِيْ الْفَرْضِ.

وَ2- أَنْ تَكُوْن بِالْعَرَبِيَّةِ.

وَ3وَ4- أَنْ تَكُوْنَ بِلَفْظِ » الْجَلاَلَةِ « وَلَفْظِ » أَكْبَرُ «

وَ5- التَّرْتِيْبُ بَيْنَ اللَّفْظَيْنِ.

وَ6- أَنْ لاَ يَمُدَّ هَمْزَةَ » الْجَلاَلَةِ «

وَ7- عَدَمُ مَدِّ بَاءِ » أَكْبَرُ «.

وَ8- أَنْ لاَ يُشَدِّدَ » الْبَاءَ «

وَ9- أَنْ لاَ يَزِيْدَ وَاواً سَاكِنَةً، أَوْ مُتَحَرِّكَةً بَيْنَ الْكَلِمَتَيْنِ.

وَ10- أَنْ لاَ يَزِيْدَ وَاواً قَبْلَ » الْجَلاَلةِ «

وَ11- أَنْ لاَ يَقِفَ بَيْنَ كَلِمَتَيِ التَّكْبِيْرِ وَقْفَةً طَوِيْلَةً وَلاَ قَصِيْرَةً.

وَ12- أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ جَمِيْعَ حُرُوْفِها.

وَ13- دُخُوْلُ الْوَقْتِ فِيْ الْمُؤَقَّتِ.

وَ14- إِيْقَاعُهَا حَالَ الاسْتِقْبَال.

وَ15- أَنْ لاْ يُخِلَّ بِحَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِهَا.

وَ16- تَأْخِيْرُ تَكْبِيْرَةِ الْمَأمُوْمِ عَنْ تَكْبِيْرَةِ الإِمَام.

Fasal: Syarat takbiratul ihram ada 16, yaitu [1] dibaca saat berdiri dalam shalat fardhu, [2] berbahasa Arab, [3&4] berlafazh jalalah (Allah) dan berlafazh Akbar, [5] tertib (urut) antara dua lafazh tersebut, [6] hamzah jalalah tidak boleh dipanjangkan, [7] BA akbar tidak dipanjangkan, [8] BA akbar tidak ditasydid, [9] tidak ditambah dengan wawu mati atau berharokat di antara dua kata itu, [10] tidak boleh ditambah wawu sebelum jalalah, [11] tidak berhenti di antara dua lafazh takbir baik lama atau sebentar, [12] dirinya mendengar semua huruf-hurufnya, [13]  masuk waktu dalam shalat muaqqat (yang ada batasan waktu), [14] terjadinya sewaktu menghadap kiblat, [15] tidak merubah satu pun dari huruf-huruf takbir, dan [16] mengakhirkan takbir makmum dari takbir imam.

 

1- أَنْ تَقَعَ حَالَةَ الْقِيَامِ فِيْ الْفَرْضِ.

[1] dibaca saat berdiri dalam shalat fardhu,

Diucapkan dalam keadaan berdiri, jika shalat yang dikerjakan adalah shalat fardhu dan mampu berdiri, dengan mengucapkan takbir pada gerakan yang dianggap sah bacaan shalat.

Apabila shalat yang dikerjakan adalah shalat sunnah atau tidak mampu berdiri ketika mengerjakan shalat fardhu, maka takbiratul ihram diucapkan pada gerakan penggantinya.

وَ2- أَنْ تَكُوْن بِالْعَرَبِيَّةِ.

[2] berbahasa Arab,

Jika orang yang shalat itu mampu. Jika tidak mampu, maka diucapkan terjemahannya.

وَ3وَ4- أَنْ تَكُوْنَ بِلَفْظِ » الْجَلاَلَةِ « وَلَفْظِ » أَكْبَرُ «

[3&4] berlafazh jalalah (Allah) dan berlafazh Akbar,

Jika mengucapkan Ar-Rahmaanu Akbar atau Allahu A’zhom, maka shalatnya tidak sah.

وَ5- التَّرْتِيْبُ بَيْنَ اللَّفْظَيْنِ.

[5] tertib (urut) antara dua lafazh tersebut,

Tidak sah mengucapkan Akbaru Allah.

وَ6- أَنْ لاَ يَمُدَّ هَمْزَةَ » الْجَلاَلَةِ «

[6] hamzah jalalah tidak boleh dipanjangkan,

Tidak boleh dengan mengucapkan AAALLOHU AKBAR, karena maknanya menjadi “Apakah benar Allah itu Maha Besar?”

وَ7- عَدَمُ مَدِّ بَاءِ » أَكْبَرُ «.

[7] BA akbar tidak dipanjangkan,

Tidak dibaca AKBAAAR.

AKBAAR, artinya genderang besar.

AKBIIR, artinya nama lain dari haidh. Yang sengaja mengucapkan dihukumi kafir.

وَ8- أَنْ لاَ يُشَدِّدَ » الْبَاءَ «

[8] BA akbar tidak ditasydid,

Ini hanya bisa terjadi jika huruf kaf itu berharokat menjadi AKABBAR, ini tidak sah.

وَ9- أَنْ لاَ يَزِيْدَ وَاواً سَاكِنَةً، أَوْ مُتَحَرِّكَةً بَيْنَ الْكَلِمَتَيْنِ.

[9] tidak ditambah dengan wawu mati atau berharokat di antara dua kata itu,

Tidak sah membaca ALLAHUU AKBAR, ALLAHU WAKBAR

وَ10- أَنْ لاَ يَزِيْدَ وَاواً قَبْلَ » الْجَلاَلةِ «

[10] tidak boleh ditambah wawu sebelum jalalah,

WALLAHU AKBAR

وَ11- أَنْ لاَ يَقِفَ بَيْنَ كَلِمَتَيِ التَّكْبِيْرِ وَقْفَةً طَوِيْلَةً وَلاَ قَصِيْرَةً.

[11] tidak berhenti di antara dua lafazh takbir baik lama atau sebentar,

Dengan maksud memutus bacaan takbir, itu tidak boleh. Seandainya, ia diam untuk mengambil nafas, tidaklah masalah.

وَ12- أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ جَمِيْعَ حُرُوْفِها.

[12] dirinya mendengar semua huruf-hurufnya,

وَ13- دُخُوْلُ الْوَقْتِ فِيْ الْمُؤَقَّتِ.

[13]  masuk waktu dalam shalat muaqqat,

Berlaku untuk shalat fardhu dan shalat yang mempunyai batasan waktu atau sebab.

وَ14- إِيْقَاعُهَا حَالَ الاسْتِقْبَال.

[14] terjadinya sewaktu menghadap kiblat,

Ketika mengerjakan shalat yang disyaratkan menghadap kiblat.

وَ15- أَنْ لاْ يُخِلَّ بِحَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِهَا.

[15] tidak merubah satu pun dari huruf-huruf takbir,

Catatan: masalah jika huruf ro’ mengalami takrir (pengulangan), menjadi akbarr, ini tidaklah masalah.

 

وَ16- تَأْخِيْرُ تَكْبِيْرَةِ الْمَأمُوْمِ عَنْ تَكْبِيْرَةِ الإِمَام.

dan [16] mengakhirkan takbir makmum dari takbir imam.

Makmum harus mengakhirkan (ta’khir) seluruh ucapan takbirnya dari takbiratul ihram imam.

Apabila makmum membarengi (qoorona) imam dalam mengucapkan takbiratul ihram, walaupun pada sebagian dari ucapan takbir imam, maka tidak sah takbir makmum.

 

[Syarat Al-Fatihah]

 

شُرُوْطُ الْفَاتِحَةِ عَشَرَةٌ:

1- التَّرْتِيْبُ.

وَ2- الْمُوَالاَةُ

وَ3- مُرَاعَاةُ حُرُوْفِهَا.

وَ4- مُرَاعَاةُ تَشْدِيْدَتِهَا.

وَ5- أَنْ لاَ يَسْكُتَ سَكْتَةً طَوِيْلَةً، وَلاَ قَصِيْرَةً يَقْصِدُ بِهَا قَطْعَ الْقِرَاءَةِ.

وَ6- قِرَاءَةُ كُلِّ آيَاتِهَا، وَمِنْهَا الْبَسْمَلَةُ.

وَ7- عَدَمُ اللَّحْنِ الْمُخِلِّ بِالْمَعْنَى

وَ8- أَنْ تَكُوْنَ حَالَةَ الْقِيَامِ فِيْ الْفَرْضِ.

وَ9- أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ الْقِرَاءَةَ.

وَ10- أَنْ لاَ يَتَخَلَّلَهَا ذِكْرٌ أَجْنَبِيٌّ.

Fasal: Syarat Al-Fatihah ada 10, yaitu [1] tartib, [2] muwalah (urut dan tidak disela), [3] menjaga hurufnya, [4] menjaga tasydidnya, [5] tidak berhenti lama atau sebentar dengan niatan memutus bacaan, [6] membaca semua ayatnya termasuk basmalah, [7] tidak lahn (salah baca) yang bisa mengubah makna, [8] membacanya dengan berdiri saat shalat Fardhu, [9] dirinya mendengarkan bacaannya, dan [10] tidak menyela-nyelanya dengan dzikir lainnya.

 

Ada dua syarat bisa ditambahkan:

  1. Membaca Al-Fatihah dengan bahasa Arab.
  2. Niatannya untuk membaca surah, bukan untuk menujukan kepada yang lain. Seperti menujukan Al-Fatihah untuk wali, maka bacaan Al-Fatihah harus diulang. Namun, jika niatnya digabung dengan niatan baca surah dalam shalat, maka tidak perlu diulang.

Baca juga: Makmum Baiknya Tetap Membaca Al-Fatihah

 

[1] tartib (berurutan),

Yaitu membaca tujuh ayat sesuai urutan yang ada.

Apabila mendahulukan suatu ayat, lalu mengubah arti atau menghapus maknanya, batallah shalatnya. Hal ini berlaku jika mengetahui dan sengaja. Jika tidak, maka hanya membatalkan bacaan Al-Fatihah saja.

Catatan: Surah Al-Fatihah itu tujuh ayat, sepakat ulama.

[2] muwalah (urut dan tidak disela),

Muwalah antara kalimat-kalimatnya, tidak ada jeda antara ayat yang satu dan berikutnya. Dzikir walaupun sedikit tidak bisa jadi jeda.

Bacaan yang masih diperbolehkan jadi sela karena masih terkait maslahat shalat yaitu:

  • Bacaan “aamiin”
  • Berdoa meminta perlindungan (ta’awudz)
  • Meminta rahmat
  • Sujud tilawah karena mengikuti imam
  • Membetulkan bacaan imam

[3] menjaga hurufnya,

Yaitu tidak boleh kehilangan satu huruf pun walaupun hamzah seperti pada ayat AN-‘AMTA, wajib mengulang kalimat yang merupakan bagian darinya lalu dilanjutkan ayat selanjutnya selama jaraknya belum lama atau selama belum rukuk. Jika telah rukuk, shalatnya batal jika terjadi hal tadi.

[4] menjaga tasydidnya,

Jika tidak dibaca tasydid, maka bacaan tersebut menjadi batal karena kelirunya kalimat.

Namun, bila membaca suatu huruf dengan tasydid sedangkan huruf itu tidak ada tasydidnya, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya ataupun bacaannya. Namun, jika mengubah makna, maka hanya membatalkan bacaannya saja. Shalatnya bisa ikut batal jika mengetahui dan sengaja.

[5] tidak berhenti lama atau sebentar dalam memutus bacaan,

As-saktah at-thawiilah (diam yang lama) adalah diam yang melebihi dari diam untuk bernafas.

Diam ketika di tengah-tengah membaca Al-Fatihah yang bermasalah adalah:

– diam di tengah-tengah bacaan dengan maksud diam yang lama secara mutlak, baik ingin memutus bacaan ataukah tidak.

– diam dengan diam yang qashir (sebentar) dengan niatan untuk memutus bacaan.

Diam yang dibahas ini bermasalah jika sengaja tanpa ada uzur. Jika lupa, diam untuk mengingat ayat selanjutnya, atau karena gagap, maka diamnya masih diperbolehkan.

[6] membaca semua ayatnya termasuk basmalah,

Membaca seluruh ayat dalam surah Al-Fatihah termasuk basmalah. Hal ini berlaku juga untuk semua surah dalam Al-Qur’an kecuali surah Baro’ah (At-Taubah).

Catatan: Kalau mau memulai membaca surah lainnya, diperintahkan memulainya dengan basmalah.

Untuk surah At-Taubah, haram membaca basmalah di awalnya dan makruh dibaca di pertengahannya menurut Ibnu Hajar. Sedangkan Imam Ar-Ramli menyatakan membaca basmalah itu makruh di awal At-Taubah dan sunnah di pertengahannya.

Surah lainnya selain At-Taubah disunnahkan membaca basmalah saat mulai membaca di tengah surat. Hal ini menjadi pendapat Ba’isyin, penulis Busyral Karim.

Hal ini berbeda seperti yang dikatakan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai disunnahkannya membaca basmalah ketika membaca dari pertengahan surah. Ulama salaf kami dan para fuqaha menyatakan, “Basmalah hanyalah dibaca di awal surah saja. Itulah yang lebih tepat.”

Baca juga: Hukum Menjaharkan Basmalah

[7] tidak lahn (salah baca) yang bisa mengubah makna,

Yang dimaksud adalah melakukan lahn yang (1) mengubah makna atau (2) membatalkan makna.

Contoh mengubah makna, membaca menjadi: AN’AMTU atau AN’AMTI.

Contoh membatalkan makna, membaca menjadi: AL-MUSTAQIIN.

[8] membacanya dengan berdiri saat shalat fardhu,

Ini dilakukan ketika mampu berdiri. Jika tidak mampu berdiri, maka dibaca pada posisi penggantinya.

[9] dirinya mendengarkan bacaannya,

Yaitu: memperdengarkan pada dirinya sendiri seluruh huruf-huruf bacaan Al-Fatihah. Ini jika tidak ada penghalang (seperti tuli atau suara gaduh). Namun, jika ada penghalang, maka diangkat suaranya hingga sekiranya tidak ada penghalang niscaya ia dapat mendengarnya.

dan [10] tidak menyela-nyelanya dengan dzikir lainnya.

Maksudnya, tidak diselingi antara lafaz-lafaznya dengan ucapan yang tidak terkait dengan kepentingannya dalam shalat, jika disengaja dan tahu. Hal ini berbeda jika lupa atau tidak tahu, maka tidaklah berpengaruh. Begitu pula bila ucapan tersebut ada kepentingannya di dalam shalat, maka masih diperbolehkan adanya ucapan tersebut. Yang terkait dengan kepentingan shalat lihat penjelasan nomor dua.

 

[Tasydid Al-Fatihah]

 

تَشْدِيْدَاتُ الْفَاتِحَةِ أَرْبَعَ عَشَرَةَ:

1- } بِسْمِ اللهِ { فَوْقَ الَّلامِ.

2- } الرَّحْمنِ { فَوْقَ الرَّاءِ.

3- } الرَّحِيْمِ { فَوْقَ الرَّاءِ.

4- } الْحَمْدُ للهِ { فَوْقَ لاَمِ الْجَلاَلَةِ.

5- } رَبِّ الْعَالَمِيْنَ { فَوْقَ الْبَاءِ.

6- } الرَّحْمنِ { فَوْقَ الرَّاءِ.

7- } الرَّحِيْمِ { فَوْقَ الرَّاءِ.

8- } مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ { فَوْقَ الدِّالِ.

9- } إِيَّاكَ نَعْبُدُ { فَوْقَ الْيَاءِ.

10- } إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ { فَوْقَ الْيَاءِ.

11- } إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ { فَوْقَ الصَّادِ.

12- } صِرَاطَ الَّذِيْنَ { فَوْقَ اللاَّمِ.

13- و14- } أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ { فَوْقَ الضَّادِ وَاللاَّمِ.

Fasal: Tasydid Al-Fatihah ada 14, yaitu [1] bismillah tasydidnya di atas huruf LAM, [2] Ar-Rohmaani di atas RO, [3] Ar-Rahim di atas RO, [4] Alhamdu lillahi di atas LAM JALALAH, [5] Rabbil Alamin di atas BA, [6] Ar-Rohmaani di atas RO, [7] Ar-Raohiimi di atas RO, [8] Ad-Diini di atas DAAL, [9] Iyyaka Na’budu di atas YA, [10] Iyyaka Nastaiinu di atas YA, [11] Ihdinash Shiroothol Mustaqiim di atas SHOOD, [12] Shiroothol Ladziina di atas LAM, [13&14] An’amta ‘Alaihim Ghoiril Maghdzuubi Alaihim waladh Dhoolliin di atas DHOOD dan LAAM.

 

[Waktu Mengangkat Tangan]

 

يُسَنُّ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْ أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ:

1- عِنْدَ تَكْبِيْرَةِ الإِحْرَامِ.

وَ2- عِنْدَ الرُّكُوْعِ.

وَ3- عِنْدَ الإِعْتِدَالِ.

وَ4- عِنْدَ الْقِيَامِ مِنْ التَشَهُّدِ الأَوَّلِ.

Fasal: Disunnahkan mengangkat dua tangan di empat tempat, yaitu [1] saat takbiratul ihram, [2] saat rukuk, [3] saat iktidal, dan [4] saat bangkit dari tasyahud awal.

Catatan:

Hukum mengangkat tangan di sini adalah sunnah. Yang diangkat adalah kedua telapak tangan. Jika yang diangkat hanyalah satu tangan saja, hukumnya makruh.

Baca juga: Empat Tempat Mengangkat Tangan dalam Shalat

 

[1] saat takbiratul ihram,

Walaupun shalatnya dilakukan dalam keadaan berbaring, tetap disunnahkan mengangkat tangan.

Sunnah telah didapatkan dengan bagaimana pun cara mengangkat kedua tangan.

Sempurnanya adalah memulai mengangkat kedua tangan bersamaan dengan permulaan takbir dan berakhir mengangkat kedua tangan bersamaan dengan akhir takbir, sehingga memulai dan mengakhiri keduanya bersamaan.

Cara mengangkat tangan:

  • Kedua telapak tangan disunnahkan dalam keadaan terbuka (tidak memakai sarung tangan),
  • bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke arah kiblat,
  • jari-jari sedikit direnggangkan,
  • ujung ibu jari sejajar dengan daun telinga bawah (syahmah = cuping, tempat anting-anting telinga), dan ujung jari yang lain sejajar daun telinga atas,
  • serta telapak tangan sejajar bahu.

[2] saat rukuk,

Sunnah telah didapatkan dengan bagaimana pun cara mengangkat kedua tangan.

Sempurnanya adalah mengangkat kedua tangan dimulai bersamaan dengan takbir. Apabila kedua tangan sejajar bahu, mulai menundukkan badan, dan takbir diperpanjang bacaannya hingga sempurna rukuk.

[3] saat iktidal,

Yaitu ketika bangkit dari rukuk. Kedua tangan diangkat bersamaan dengan permulaan mengangkat kepalanya menuju berdiri. Apabila tegak berdiri, kedua tangan diluruskan (irsal).

Catatan:

Dalam hadits Wail bin Hujr disebutkan,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. An-Nasai, no. 888 dan Ahmad, 4:316. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri setelah bangkit dari rukuk (sedekap). Ada tiga pendapat dalam hal ini:

  1. Disunnahkan sedekap, inilah pendapat sebagian ulama Hanafiyah, Ibnu Hajar Al-Haitami dari Syafiiyah, pilihan Ibnu Hazm, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.
  2. Tidak disunnahkan sedekap, pernyataan jumhur ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafiiyyah, salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
  3. Terserah sedekap ataukah tidak, sebagaimana madzhab Imam Ahmad.

Lihat Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadaat, hlm. 217-218.

Baca juga: Tangan Sedekap Saat Iktidal

dan [4] saat bangkit dari tasyahud awal.

Yaitu ketika berdiri dari tasyahud awal, kedua tangan mulai diangkat setelah sampai pada batasan minimal rukuk.

Kaidah:

Kapan mengangkat dua tangan? Ketika BUKAN akan turun sujud atau bangkit dari sujud.

(Kaidah ringkas dari Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Kaafi, kami dengar langsung dari guru kami Syaikh ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir)

Catatan:

  • Jilsatul istirohah, duduk sejenak untuk bangkit ke rakaat kedua atau keempat, itu disunnahkan sebagaimana pendapat dalam madzhab Syafii.
  • Duduk iq’a’ disunnahkan ketika duduk antara dua sujud. Ini adalah qaul Asy-Syafii.
  • Sujud pada tujuh anggota tubuh, ada di situ dahi dan hidung. Untuk hidung harus menempel ke lantai, ada beda pendapat ulama.
  • Cara turun sujud menurut jumhur ulama, lutut dahulu baru tangan. Sedangkan menurut ulama lainnya tangan dulu barulah lutut.
  • Cara bangkit dari sujud disunnahkan bertumpu pada kedua telapak tangan, sebagaimana pendapat dalam madzhab Malikiyah dan Syafiiyah.

Lihat Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadaat.

 

[Syarat Sujud]

شُرُوْطُ السُّجُوْدِ سَبْعَةٌ:

1- أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءٍ.

وَ2- أَنْ تَكُوْنَ جَبْهَتُهَ مَكْشُوْفَةً.

وَ3- التَّحَامُلُ بِرَأْسِهِ.

وَ4- عَدَمُ الْهُوِيِّ لِغَيْرِهِ.

وَ5- أَنْ لاَ يَسْجُدَ عَلَى شَيْءٍ يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ.

وَ6- ارْتِفَاعُ أَسَافِلِهِ عَلَى أَعَالِيْهِ.

وَ7- الطُّمَأْنِيْنَةُ فِيْهِ.

Fasal: Syarat sujud ada tujuh, yaitu [1] sujud di tujuh anggota sujud, [2] dahinya terbuka, [3] meletakkan kepalanya dengan menekannya, [4] tidak meniatkan untuk selain sujud, [5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya), [6] kepala lebih rendah dari pantat, [7] thumakninah.

 

Catatan:

[1] sujud di tujuh anggota sujud,

Yaitu dengan meletakkan di tempat sujudnya sebagian dari dahinya, sebagian dari lututnya, sebagian dari bagian dalam telapak tangannya, sebagian dari telapak jari tiap kakinya, walaupun satu jari dari setiap tangan dan kaki.

Yang disunnahkan adalah tartib (berurutan) dalam meletakkan:

– kedua lulut, lalu

– kedua tangan, lalu

– dahi

[2] dahinya terbuka,

Dahi adalah bagian wajah yang panjangnya antara  dua pelipis (shudghoini), dan lebarnya antara antara rambut kepala dengan kedua alis.

Yang disunnahkan:

  • Meletakkan jabiin bersamaan saat sujud

Dahi (jabhah) di sini harus dalam keadaan terbuka, sebagian kulit dahi atau rambutnya dapat terkena secara langsung tempat sujudnya.

Anggota tubuh yang lain dari anggota saat sujud disunnahkan terbuka yaitu kedua tangan dan kakinya, tetapi dimakruhkan membuka selain yang wajib ditutup dari kedua lututnya.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh untuk sujud tidak menyentuh lantai, shalatnya berarti tidak sah. Namun, jika kita katakan wajib, bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafi’iyah sebagaimana dahi demikian. Namun, yang lebih tepat adalah tidaklah wajib terbuka untuk kedua telapak tangan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:185)

Baca juga: Bagian Dahi Tertutup Mukena Saat Sujud 

[3] meletakkan kepalanya dengan menekannya,

Maksudnya adalah menekan bagian kepalanya, sehingga bila terdapat kapas di bawahnya akan tertekan.

[4] tidak meniatkan untuk selain sujud,

Maksudnya adalah tidak bergerak dengan maksud selain sujud.

Apabila jatuh dari iktidalnya menuju sujud secara terpaksa, maka hal itu tidak terhitung. Ia wajib kembali menuju iktidal agar dapat bergerak menuju sujud, tidak ada maksud lain. Hal ini berbeda bila seseorang terjatuh saat bergerak menuju sujud atau ketika iktidal setelah adanya tujuan untuk bergerak menuju sujud, maka hal itu tidaklah berpengaruh dan masih terhitung gerakan menuju sujud.

[5] tidak sujud di atas sesuatu yang bergerak-gerak (mengikuti gerakannya),

Maksudnya adalah tidak sujud di atas sesuatu yang dibawanya dan bergerak mengikuti gerakannya.Hal ini akan membatalkan shalat jika ia tahu dan sengaja. Jika tidak, maka sujudnya harus diulang.

Apabila seseorang sujud sedangkan ia shalat dalam keadaan duduk, dan ia sujud di atas sesuatu yang tidak bergerak mengikuti gerakannya, tetapi sekiranya shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri, niscaya akan bergerak mengikuti gerakannya, maka tidak berpengaruh hal ini.

Berbeda bila seseorang shalat di atas tempat tidurnya, yang bergerak mengikuti gerakannya, hal itu masih diperbolehkan. Begitu pula tidak berpengaruh bila sujud di atas sesuatu yang dibawa di tangannya, karena dianggap itu adalah sesuatu yang terpisah.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (3: 221) berkata, “Syarat shalat fardhu adalah menghadap kiblat … Seandainya sudah menghadap kiblat dan memenuhi rukun shalat, lalu shalat tersebut dilakukan di atas tandu atau ranjang (kasur) atau di atas punggung hewan tunggangan di mana dilakukan sambil berdiri, maka shalatnya tetap sah menurut pendapat yang paling kuat. Hal ini disamakan dengan shalat di atas perahu.”

Baca juga: Shalat di Atas Ranjang

[6] kepala lebih rendah dari pantat,

Maksudnya dalah bagian pinggul tubuhnya dan yang sekitarnya harus lebih tinggi secara yakin dari bagian kepala dan bahunya.

[7] thumakninah.

Yaitu thumakninah secara yakin.

 

[Anggota Sujud]

خَاتِمَةٌ

أَعْضَاءُ السُّجُوُدِ سَبْعَةٌ:

1- الْجَبْهَةُ.

وَ2- وَ3- بُطُوْنُ أَصَابعِ الْكَفَّيْنِ.

وَ4- وَ5- الرُّكْبَتَانِ.

وَ6- وَ7- بُطُوْنُ أَصَابعِ الرِّجْلَيْنِ.

Khotimah: Anggota sujud ada 7, yaitu [1] dahi, [2&3] dua telapak tangan bagian dalam, [4&5] dua lutut, [6&7] bagian dalam jari-jari dua kaki.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri.” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490)

 

[Tasydid Tasyahud]

تَشْدِيْدَاتُ التَّشَهُّدِ إِحْدَى وَعِشْرُوْنَ:

خَمْسٌ [زَائِدَةٌ] فِيْ أَكْمَلِهِ، وَسِتَّ عَشْرَةَ فِيْ أَقَلِّهِ.

1- و2- » التَّحِيَّاتُ «: عَلَى التَّاءِ وَاليَاءِ.

3- » الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ « عَلَى الصَّادِ.

4- وَ5- » الطَّيِّبَاتُ «: عَلَى الطَّاءِ وَالْيَاءِ.

6- » للهِ « :عَلَى لاَمِ الْجَلاَلَةِ.

7- » السَّلاَمُ «: عَلَى السَّيْنِ.

8- وَ9- وَ10- » عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ « عَلَى الْيَاءِ، وَالنُّوْنِ، وَاليَاءِ.

11- » وَرَحْمَةُ اللهِ « عَلَى لاَمِ الْجَلاَلَةِ.

12- » وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ « عَلَى السَّيْنِ.

13- » عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ «: عَلَى لاَمِ الْجَلاَلةِ.

14- » الصَّالِحِيْنَ «: عَلَى الصَّادِ.

15- » أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ «: عَلَى لاَمِ أَلفٍ.

16- و17- » إلاَّ اللهُ «: عَلَى لاَمِ أَلِفٍ وَلاَمِ الْجَلاَلَةِ.

18- » وَأَشْهَدُ أَنْ «: عَلَى النُّوْنِ.

19- وَ20- و21- » مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ «: عَلَى مِيْمِ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى الرَّاءِ، وَعَلَى لاَمِ الْجَلاَلَةِ.

Fasal: Tasydid tasyahhud ada 21: yang 5 penyempurna dan 16 sisanya yang minimal, yaitu:

[1&2] (التَّحِيَّاتُ) pada TA dan YA, [3] (الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ) pada SHOOD, [4&5] (الطَّيِّبَاتُ) pada THOO dan YA, [6] (للهِ) pada LAM jalalah, [7] (السَّلاَمُ) pada SIN, [8-9-10] (عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ) pada YA, NUN, dan YA, [11] (وَرَحْمَةُ اللهِ) pada LAM Jalaalah, [12] (وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ) pada SIN, [13] (عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ) pada LAM Jalaalah, [14] (الصَّالِحِيْنَ) pada SHOD, [15] (أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ) pada LAM ALIF, [16-17] (إلاَّ اللهُ) pada LAM ALIF dan LAM Jalaalah, [18] (وَأَشْهَدُ أَنْ) pada NUN, dan [19,20,21] (مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ) pada MIM, RO, dan LAM Jalaalah.

 

[Tasydid Shalawat]

تَشْدِيْدَاتُ أَقَلِّ الصَّلاةِ عَلَى النَّبِيِّ أَرْبَعٌ:

1- » اللًّهُمَّ «: عَلَى اللاَّمِ وَالمِيْمِ.

2- » صَلِّ « عَلَى اللاَّمِ.

3- » عَلَى مُحَمَّدٍ «: عَلَى الْمِيْمِ.

Fasal: Tasydid minimal dalam shalawat kepada Nabi ada 4, yaitu: [1] ALLAHUMMA pada LAM dan MIM, [2] SHOLLI pada LAM, [3] MUHAMMAD pada MIM.

 

[Salam Minimal]

أَقَلُّ السَّلاَمِ : السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

تَشْدِيْدُ السَّلاَمِ عَلَى السِّيْنِ

Fasal: Salam minimal adalah Assalamu ‘alaikum dengan tasydid pada SIN.

 

Referensi:

Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.

 

Catatan 16-10-2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/31104-safinatun-naja-rukun-shalat-cara-niat-membaca-al-fatihah-dan-rinciannya.html